Bacalah, menyusup ke larik-larik kata
Jika novel "To Kill A Mockingbird' karangan Harper Lee adalah novel yang menjadi bacaan wajib anak sekolah di Amerika, maka di Indonesia ada novel 'Laskar Pelangi' yang (seharusnya) menjadi bacaan wajib anak sekolah juga. Tapi, meski pada kenyataannya novel ini belum menjadi baaan wajib anak sekolah, kepopulerannya tetap terlihat dari 'labelnya' sebagai International Best Seller bahkan telah diterjemahkan ke dalam 18 bahasa!.
Novel yang ditulis oleh Andrea Hirata ini bercerita tentang perjuangan 10 anak belitung yang berjuang meraih cita-citanya. Ia membuat siapa pun yang membacanya akan merasakan pengalaman luar biasa terbawa dalam pesona kata-kata yang menggiring pembaca untuk tertawa, berpikir, menangis, marah, dan sejuta rasa lainnya. namun, untuk anak sekolah (pun penuntut ilmu segala usia) beberapa penggalan novel ini sangat tepat dan dapat menjadi 'booster' bagi kita untuk tak terjatuh dalam situasi 'klise' yakni 'malas belajar'
selamat membaca..
"Lintang hanya dapat
belajar setelah agak larut karena rumahnya gaduh, sulit menemukan tempat yang
kosong, dan karena harus berebut lampu minyak. Namun, sekali ia memegang buku,
terbang lah ia meninggalkan gubuk doyong berdinding kulit itu. belajar adalah
hiburan yang membuatnya lupa pada seluruh penat dan kesulitan hidup. Buku
baginya adalah obat dan sumur kehidupan yang airnya selalu memberi kekuatan agar ia mampu
mengayuh sepeda menantang angin setiap hari."
kalau kita sering menganggap belajar adalah
beban, maka dari lintang kita bisa melihat sudut pandang lain. Ia justru
menjadikannya hiburan. Nah, di saat belajar dianggap sebagai hiburan, apa bisa
ada rasa malas lagi?.
" hidup dengan
usaha adalah mata yang ditutup untuk mencari buah-buahan dalam keranjang. Buah
apapun yang didapat tetaplah buah. Sedang hidup tanpa usaha adalah mata yang
ditutup untuk mencari kucing hitam di dalam kamar gelap. Dan kucingnya tidak
ada"
Usaha takkan
pernah mengkhianati hasil dan bahwa setiap usaha, sekecil apapun itu akan
membuahkan hasil. Mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh Andrea Hirata
melalui kutipannya ini.
"Kemarilah
ayahanda,..berapa empat kali empat?". Ayahandanya yang buta huruf hilir
mudik. Memandang jauh ke laut luas melalui jendela, lalu ketika Lintang lengah,
ia diam-diam menyelinap keluar melalui pintu belakang. Ia melompat dari rumah
panggungnya dan tanpa di ketahui Lintang ia berlari sekencang-kencangnya
menerabas ilalang. Laki-laki cemara angin itu berlari pontang-panting sederas
pelanduk untuk meminta bantuan orang-orang di kantor desa. Lalu secepat kilat
pula ia menyelinap ke dalam rumah dan tiba-tiba sudah berada di depan Lintang.
'Emp..emmm..empat belas..bujangku..tak diragukan lagi empat belas..tak lebih
tak kurang.."
Potongan cerita di atas
terjadi saat Lintang sedang belajar. Namun, saat itu Lintang salah karena
bertanya kepada ayahnya yang juta tidak tau apa-apa. Ayahnya hanya tahu angka
empat belas karena itu sama dengan jumlah nyawa yang harus ditanggungnya di
dalam rumah berdinding kulit itu. karenanya, Lintang berjanji dalam hati,
takkan menanyai ayahnya tentang pelajaran sekolah lagi.
" Orang
cerdas berdiri dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa
dilihat orang lain. mereka yang tidak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap
dalam kegelapan itu. Orang yang tidak cerdas hidup di dalam terang. sebuah
senter menyiram tepat di atas kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai
pada batas lingkaran cahaya senter itu"
Penggambaran ini sepertinya lumrah terjadi dalam kehidupan manusia.
Mereka yang cerdas tak berpikir seperti orang kebanyakan, karenanya mereka
biasanya tak didengarkan, dianggap mengada-ada, bahkan disalahkan.
Hal
ini mungkin mengingatkan kita pada kisah seorang ilmuwan yang dengan
observasinya berhasil membuktikan bahwa bumi itu bulat dan matahari adalah
pusat dari tata surya. Galileo Galilei yang dipanggil oleh penentangnya dengan
panggilan "Si dungu yang mengacaukan ilmu astronomi' harus dihukum penjara
seumur hidup. Namun, pada akhirnya, Ilmu pengetahuan membuktikan bahwa ia
bukanlah si dungu, bukan pula pengacau ilmu astronomi.
"16 kali 14 kali 23
tambah 14 kali 16 kali 7?". Kami berkecil hati, termangu-mangu
menggenggami lidi, lalu kurang dari tujuh detik, tanpa membuat catatan apapun,
tanpa keraguan, tanpa ketergesa-gesaaan, bahkan tanpa berkedip, Lintang
berkumandang. "651-952!". " Purnama! Lintang, Bulan purnama di
atas dermaga olivir, indah sekali!. Itulah jawabanmu, kemana kau bersembunyi
selama ini?
Lintang yang harus
mengayuh sepeda 80 kilometer setiap hari, kadang terlambat karena menunggu
buaya melintasi jalan terlebih dahulu, membantu ayahnya untuk menghidupi 14
anggota keluarga, adalah anak yang cemerlang. Meskipun dengan segala
keterbatasan yang terdapat di sekolahnya,-seperti belajar berhitung menggunakan
batang lidi, Lintang muncul dari 'persembunyiannya'.
"Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, Bukan untuk
menerima sebanyak-banyaknya"
Semoga bermanfaat
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah mengunjungi blog ini dan terima kasih atas kritik dan sarannya. Semoga blog ini bisa terus diberdayakan dan bermanfaat bagi pembaca